Selasa, 24 Februari 2009

my 1st novel

MY LAST BREAHT TO SAVE OUR WORLD

PROLOG

Angin melolong pelan diantara sela-sela pepohonan membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Cahaya bulan yang pucat tersamarkan oleh dedaunan pepohonan yang rimbun. Sesuatu hal terjadi malam itu, cuaca tampak berubah dengan sangat cepat, awan gelap melingkupi langit malam yang semula cerah.
‘Apakah saat ini sudah tiba waktunya?’ Tanya seorang pemuda dengan sosok wanita yang ada disebelahnya. Rambutnya yang pendek berkilauan tertimpa cahaya bulan. Perwakannya yang tegap dan gagah sangat mencolok, sangat menawan siapapun yang melihatnya. Terlihat tua tetapi sekaligus muda. Wajahnya memancarkan kesan misterius yang sulit diungkapkan. Sayap hitam tampak bergetar tertiup angin malam. Mata merahnya menatap dengan dingin puluhan orang yang berjalan hilir mudik.
‘Ya. Rencana sudah dijalankan. Kau tau tidak bisa mengubah takdir’ kata wanita itu. Sosoknya juga tidak kalah cantik dan menawan dibanding dengan pemuda itu. Rambut hitam dibiarkannya tergerai hingga ke pinggang. Wajahnya yang tirus dengan mata berwarna perak pucat, kulitnya yang pucat tampak bercahaya tertimpa cahaya rembulan. Sayap putih mengepak pelan disamping pemuda itu. ’Manusia sudah sangat sombong. Menghancurkan apa yang bukan miliknya, mengambil apa yang bukan haknya. Menorehkan luka kebumi tanpa bisa disembuhkan lagi. Kehancuran yang akan mereka dapatkan’ wanita itu berkata dengan nada dingin dan tajam.
‘Tuan Kehidupan pasti akan memaafkan mereka. Apakah kau yakin akan menghancurkan kehidupan ini?’
’Aku sudah cukup muak dengan semuanya. Apa yang terjadi harus terjadi. Penghakiman akan kumulai, saat ini juga. Lakukan apa yang harus kau lakukan.’ Kata wanita itu dengan penuh keyakinan. ’Gabriell, aku menyayangimu. Dan aku tidak akan menghalangi apa yang akan kau lakukan’
Seketika itu juga wanita itu pergi ke atas angkasa. Sayap putihnya tampak sangat cemerlang, berkilauan dengan indahnya. Seterang matahari sekaligus selembut cahaya bulan. Ditangannya tergenggam sebuah terompet dari gading berwarna putih salju, dengan ukiran-ukiran yang saling berkaitan satu sama lain. Detail yang rumit dan tidak akan ada seorang pun seniman di dunia yang mampu membuatnya.
Sesaat setelah ia meniup terompet itu. Seakan-akan alam mematuhi panggilannya. Kehendaknya untuk menghancurkan dunia. Mengembalikan semua ke esensi awal tentang penciptaan oleh Tuan Kehidupan.
Langit utara dan selatan pun terkoyak dengan bunyi keras, sinar matahari dengan tajam melelehkan permukaan es yang sudah membeku berjuta-juta tahun yang lalu. Perubahan iklim pun mulai terjadi. Ombak menderu keras dengan ketinggian bermeter-meter, permukaan air laut mulai naik dengan cepat dan menenggelamkan daratan. Angin bertiup dengan kencang merobohkan bangunan pencakar langit dan bangunan-bangunan lain yang menorehkan luka yang dalam ke ibu bumi, simbol keangkuhan dan kesombongan manusia. Awan gelap menutupi angkasa, tiada siang ataupun malam, yang ada hanyalah kegelapan mencekam dan dingin. Sementara di tempat lain, langit terbuka lebar membiarkan cahaya matahari menghanguskan semua yang ada dalam pandangannya. Membakarnya dengan pelan dan menyakitkan.
Gabrielle hanya menatap sahabatnya dengan tatapan dingin. Sadar air matanya yang mengalir, menetes pelan membasahi pipinya. ‘Uriel....’ dengan sedih Gabrielle mengucapkan nama sahabatnya. Sadar akan apa yang harus dilakukannya. Gabrielle terbang dengan pelan, turun ke bumi.
Menapak tanah di sebuah kepulauan kecil yang berada di arah tenggara. Di sebuah kota kecil tanpa nama, sebuah kampung tak bertuan. Apa yang dilihatnya membuatnya merasa sedih. Bencana juga sudah melanda kota kecil ini. Beberapa bangunan terendam oleh air laut yang meluap hingga berkilo-kilo meter dari garis pantai. Sebagian besar runtuh karena tertiup oleh angin ribut. Bau anyir mayat seorang anak kecil yang mati membusuk dan sedang dipeluk oleh ibunya yang juga mati, terapung tanpa tujuan menggetarkan nurani Gabrille. Ratapan dan rintihan terdengar di mana-mana. Kelaparan dan nasib yang tidak menentu yang dirasakan oleh mereka membuat mereka semakin terpuruk dan jatuh ke dalam keputusasaaan yang paling dalam.
Gabrille hanya melihat tanpa bisa berbuat banyak. Dirinya terikat aturan yang tidak bisa ditentang walaupun dia menginginkannya. Jiwanya terkoyak oleh keinginannya untuk menolong semua manusia yang dilihatnya.
Mata merahnya menatap anak kecil itu lagi. Yang sekarang sudah tertepas dari pelukan ibunya. Terapung sendirian tanpa siapa-siapa. Lalat-lalat dengan ganas hinggap diatas mayat anak kecil itu. Sementara di langit, burung-burung gagak terbang dengan pelan dan malas-malas. Mengawasi dan menimbang-nimbang apakah turun untuk memakan mayat anak kecil itu atau mayat ibunya yang bergerak berlawanan terbawa oleh arus air.
‘Tuanku, semoga apa yang kuperbuat tidak akan menjadi penyesalanku hingga akhir hidupku. Aku yakin dengan apa yang kuyakini’ Gabrielle menatap anak kecil itu dengan seksama. Bulu-bulu sayab berwarna hitam yang berjatuhan dari sayap hitam Gabrielle seketika itu juga membakar permukaan air yang disentuhnya. Saat kakinya yang telanjang menapak permukaan air yang dingin, seketika itu juga air tersebut menguap dengan bunyi mendesis pelan.
Tangannya terjulur dan dengan lembut Gabrielle menyentuh dahi anak itu dengan tangan kanan sementara tangan yang satunya memegang tangan anak itu yang sudah nyaris membusuk. ‘Yang diperlukan manusia adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mengubah segalanya menjadi lebih baik. Menjaga dunia ini agar terus hidup. Kesempatan untuk memperbaiki yang salah. Kesempatan terakhir’ ujar Gabrielle dengan lembut. Matanya merah menyala berpendar dengan terang. Sayapnya yang berwarna hitam terbentang dengan gagahnya, melingkupi tubuh anak kecil itu. Seketika itu gelombang magis memenuhi tempat itu.
Hawa panas dari tubuh Gabrielle memancar keluar, menyebabkan permukaan air mendidih lalu menguap, tetapi secara ajaib tidak mempengaruhi kondisi sekitar. Burung-burung gagak tetap berkoak-koak tetapi tidak beranjak pergi, mereka bisa melihat Gabrille dan apa yang sedang dilakukannya. Mereka tahu Gabrille bukanlah ancaman bagi mereka.
Anak kecil itu membuka matanya dengan pelan, menatap dengan kabur sosok dihadapannya. Tidak mengerti apa yang sedang dialaminya. Yang ia rasakan hanyalah sensasi hangat yang nyaman. Seperti berbaring di dekat perapian sementara di luar rumah dingin, seperti menghirup wewangian bunga mawar, seperti saat melihat matahari terbit setelah malam yang kelam, seperti saat meminum teh jahe saat udara dingin, seperti mendengar musik yang paling merdu dan indah. Sensasi hangat yang dirasakan dari luar ke dalam dan dari dalam keluar. Aneh dan tidak bisa dituangkan dengan kata-kata.
’Ingat kata-kataku’ kata Gabrille dengan suara tenang dan berwibawa. ’Ubahlah dunia, buat mereka ingat tentang kebaikan. Jagalah dunia, jagalah bumi. Jangan sampai langit terkoyak ataupun air meluap. Ini adalah kesempatan terakhir untuk kalian. Kau kuberikan bakat yang dibutuhkan untuk mengubah dunia. Jangan sia-siakan kesempatan ini’ Gabrille lalu pergi meninggalkan anak kecil itu. Yang masih menatap kosong ke langit. Dia melihat sesuatu, merasakan dan mendengarkan sosok itu. Di lengannya sebuah simbol berwarna merah terang membekas, timbul dari dalam kulit anak itu. Seperti melepuh tetapi tidak terasa sakit, tetapi malah terasa sejuk bila disentuh dengan tangan telanjang.

Seketika itu juga Reza terbangun dari tidurnya yang sangat-sangat aneh. Badannya berkeringat banyak sekali, seperti habis berkeliling alun-alun utara sebanyak sepuluh kali putaran dan masih ditambah push up 50 kali Bajunya basah kuyub karena keringat yang berlebihan. Dan rasa capek yang luar biasa.
Reza sadar keadaan kamarnya yang sudah gelap. Samar-samar terlihat meja dengan laptop yang masih menyala, lagu dari the corrs mengalun dengan lembut. Kamar kost ukuran 3x4 dengan sebuah lemari coklat kecil, satu kursi plastik berwarna merah, sebuah meja gambar. Selain itu juga penuh sesak dengan barang-barang lain yang belum dibereskan.
Angin berhembus pelan dari jendela kamar kost nya yang sengaja dia biarkan terbuka karena malam yang sangat panas di Yogyakarta. Korden biru muda melambai-lambai dengan lambat tertiup angin malam. Sementara ia melihat jam tangannya sudah pukul 23.59. 1 menit lagi menjelang tahun baru 2012. Suasana ramai terdengar dari luar kos. Suara terompet, petasan yang bersaut-sautan dan teriakan-teriakan penuh makian dari teman-teman satu kosnya.
’Mimpi?’ kata Reza pelan. Mengerang pelan lalu berlahan ia berdiri, lalu melepas bajunya yang basah kuyub. Badan yang cukup terawat dengan bentuk sixpack yang terpahat rapi di perut Reza terpantul di cermin. Kulit sawo matangnya terlihat makin gelap ditengah kamar kost yang hanya diterangi oleh lampu laptop.
Secara refleks Reza mengamati sesuatu yang lain di lengan kirinya yang terpantul di permukaan cermin. Sesuatu yang mengganjal dan tidak lazim. Dengan bergegas ia menyalakan lampu kamar kosnya. Sebuah simbol berwarna merah terang membekas di lengan kirinya. Seperti luka bakar tetapi sama sekali tidak sakit.
Shock, dan perasaan bercampur aduk memenuhi segenap pikirannya. ‘Apa yang terjadi?’ Reza masih menatap bayangannya di cermin yang sedang memegang lengan kirinya dengan posisi terbalik. ‘Tidak mungkin! Mimpi itu tidak mungkin nyata’
Seperti hantaman telak di jiwa Reza, meruntuhkannya hingga berkeping-keping saat ia melihat sehelai bulu berwarna hitam pekat berada disebelah tempat tidurnya.
Akhir dunia, hari penghakiman, Apocalyps. Apakah yang kulihat dimimpi akan menjadi kenyataan? Setengah tidak percaya. Reza berusaha menolak informasi yang masuk kedalam otaknya.
Secara tidak sadar Reza menatap keluar jendelanya. Sementara waktu menunjukkan pukul 12 malam tepat. Diiringi hitungan mundur tradisi saat tahun baru. Sebuah awan gelap pekat dengan kilatan-kilatan kecil menggantung di langit malam. Sebuah awal yang butuk untuk tahun baru.

To be continue (tar disambung kalo udah ada mood nulis)

Tidak ada komentar: